KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya
sehingga makalah Islam Dan Budaya Lokal, tentang “perkawinan dalam perspektif
masyarakat (bima)” bisa terselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan.
Sholawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya,
sahabat-sahabatnya, serta seluruh pengikutnya. Disusunnya makalah ini dengan
maksud agar kita bisa memahami dan
mengetahui bagaimana adat, tradisi-tradisi dan budaya-budaya masyarakat lain
khususnya perkawinan dalam etnis mbojo “bima”. Tak lupa kami ucapkan banyak terima
kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan kami kesempatan untuk
menyelesaikan penulisan makalah ini. Akan tetapi kami harap agar pembaca bisa
memaklumi kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah kami, atas dasar itu
kritik dan saran kami harapkan dari pembaca demi kesempurnaan makalah yang kami
buat ini dan lebih bermanfaat bagi kita semua. Amin……
Penulis
Mataram, 29 maret 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Pekawinan adalah suatu peristiwa yang sangat
pundamental dalam kehidupan masyarakat, karena perkawinan itu sendiri merupakan
landasan pertama dalam mewujudkan masyarakat. Bahkan dapat dikatakan kelompok
masyarakat tidak akan pernah mewujudkan apabila tidak terjadi adanya hubungan
perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Istilah “mbojo” yang dipergunakan disini mencakup
kota bima, kabupaten bima, dan kabupaten dompu. Dalam penerjemahan Indonesia,
“mbojo” lazim diterjemahkan dengan kata “bima”. Dasar itulah kemudian,
penyebutan mbojo selalu identik dengan bima, padahal kata mbojo adalah entitas
etnis yang sekarang mencakup kota bima, kabupaten bima, dan kabupaten dompu.
Pada umumnya, dana mbojo (tanah bima) berbukit-bukit
dan terdapat beberapa gunung yang tinggi, sedangkan dataran rendah hanya
terdapat di beberapa tempat. Desa-desa dalam wilayah bima pada umumnya terdiri
dari beberapa kampung kecil yang disebut rasa (dusun) yang merupakan kesatuan
wilayah semata-mata. Sebuah desa biasanya dibatasi pleh bukit kecil, tegalan,
kebun, atau sawah. Untuk melindungi kampung dari gangguan hewan-hewan yang
berkeliaran biasanya di pinggir rasa (dusun) ditanami pohon bambo atau kedondong.
Adapun tanah-tanah yang menjadi tempat mendirikan rumah panggung (uma panggu)
oleh penduduk pada zaman dahulu merupakan milik bersama yang dahulu di bawah
kekuasaan sultan dan tidak diberikan dasar hak kepemilikan secara perorangan.
Sarei uma (halaman rumah) dibatasi dengan pagar-pagar bambo yang rendah atau
juga ada yang tak tentu batas-batasnya. Pagar dari bambo tersebut dalam bahasa
setempat disebut kabampa rasa.
Masyarakat bima tebagi menjadi empat bagian
atau tingkat. Tingkat-tingkat masyarakat tersebut masih Nampak sampai sekarang,
sekalipun perbedaannya sudah tidak setajam dahulu.
a. Tingkat
ruma merupakan lapisan yang paling tinggi dalam masyarakat bima, yaitu
orang-orang dari keturunan sultan itu bergelar “ruma sangaji”, sedangkan permaisurinya
bergelar “ruma paduka”. Orang dari keturunan sultan pada jalur laki-laki
bergelar “ama ka’u”, dan pada jalur perempuan bergelar “ina ka’u”.
b. Tingkat
rato ialah lapisan masyarakat yang berasal dari keturunan ruma bicara sampai
kepada jeneli camat. Ruma bicara adalah sebagai pelaksana pemerintahan yang
mengemban perintah-perintah sultan. Setiap perintah sultan tidak langsung
kepada rakyat, tetapi melalui ruma bicara.
c. Tingkatan
uba. Lapisan ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari turunan gelarang
(kepala desa).
d. Tingkatan
ama, lapisan ini merupakan lapisan yang paling rendah yaitu masyarakat awam.
2.
Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
bentuk perkawinan dalam konteks budaya bima?
b. Apa
syarat-syarat perkwninan dalam konteks budaya bima?
c. Bagaimana
tata cara plaksanaan dalam perkawinan budaya bima?
3. Tujuan
a. Mengetahui
bagaimana bentuk-bentuk perkawinan
masyarakat bima
b. Mengetahui
syarat-syarat perkawinan masyarakat bima
c. Mengetahui
tata cara pelaksanaan perkawinan masyarakat bima
4.
Kerangka
Teori
a) PENGERTIAN
PERKAWINAN
Pekawinan
adalah suatu peristiwa yang sangat pundamental dalam kehidupan masyarakat,
karena perkawinan itu sendiri merupakan landasan pertama dalam mewujudkan
masyarakat. Bahkan dapat dikatakan kelompok masyarakat tidak akan pernah
mewujudkan apabila tidak terjadi adanya hubungan perkawinan antara laki-laki
dan perempuan.
Perkawinan
dalam islam mempunyai makna religius yang amat tinggi nilainya, karena ia bukan
hanya merupakan tindakan hukum yang berkaitan dengan sah dan tidaknya, tetapi
lebih dari itu. Perkawinan merupakan suatu pertalian hubungan yang sah antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sehingga terjadi
hubungan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga dan menjaga keturunan
serta mencegah dan menjaga ketentraman jiwa dan keluarganya.
Nikah secara bahasa adalah
berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu
pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.
Berkata Imam Nawawi : “Nikah
secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” ,
kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa
Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu”
artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata”
artinya telah menggauli di organ kewanitaannya..
Adapun “Nikah” secara istilah
adalah : “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya
dihalalkan baginya untuk melakukan hubungan seksual” .
b) PENGERTIN
PERSFEKTIF
perspektif berasal dari bahasa italia "Prospettiva"
yang berarti gambar pandangan atau sudut pandangan ,
Perspektif merupkan sudut pandang atau ndangan seseorng
terkait dengan suatu hal atau masalah tertentu.
Perspektif merupakan suatu kumpulan
asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal, dengan perspektif orang akan
memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut
berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsur-unsur
pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERNIKAHAN
DALAM KONTEKS BUDAYA BIMA
Pada
umumnya, pernikahan di bima dilangsungkan setelah musim panen. Juga pada
bulan-bulan bersejarah menurut agama islam, misalnya bulan maulid, rajab, dan
zulhijah. Adanya pemilihan bulan-bulan tersebut terletak pada paktor ekonomis,
yaitu ketetapan pada bulan-bulan tersebut terjadi musim panen. Selain
bulan-bulan yang disebutkan ada juga bulan-bulan yang merupakan pantangan untuk
dilangsungkan perkawinan. Bulan tersebut adalah bulan zulkaidah. Dalam anggapan
masyarakat bima, bulan ini disebut wura hela. Wura artinya bulan dan hela
artinya kosong, jadi maksudnya adalah yang diselingi oleh dua hari raya yaitu
idul fitri dan hari raya iddul qurban. Dasar pertimbangan mereka tersebut
terletak pada factor ekonomi, di mana sebelum bulan zulqaidah mereka baru saja
mengadakan perayaan-perayaan sehingga perekonomian menipis dan dalam menghadapi
hari raya qurban mereka juga memerlukan persiapan-persiapan seperlunya.
Adapun
tujuan perkawinan menurut adat bima adalah sebagai berikut:
1. Untuk
memenuhi kehendak agama. Masyarakat mbojo adalah masyarakat yang panatik
terhadap agama islam. Perkawinan dilaksanakan sesuai dengan anjuran dalam agam
islam, yakni untuk menghindari manusia dari perbuatan terlarang seperti berzina
dengan wanita yang belum dinikahi.
2. Untuk
memenuhi kebutuhan biologis. Tujuan ini melekat pada setiap perkawinan, hanya
mungkin kadarnya yang berbeda.bila diperhatikan kondisi yang terjadi dalam
masyarakat bima bahwa tujuan perkawinan yang dilakukan juga untuk memenuhi
kebutuhan seksual
dan
hak tersebut bersifat manusiawi.
3. Untuk
meneruskan keturunan.
4. Untuk
status sosial. Tujuan perkawinan dalam etnis mbojo dalam masyarakat bima adalah
menyangkut urusan kerabat karena dengan adanya perkawinan akan menyebabkan
lahirnya generasi baru yang meneruskan kerabat tersebut. Urusan status sosial
dalam adat perkawinan etnis mbojo memegang peran yang penting, bahkan pekerjaan
seseorang pemuda sangat menentukan berhasil tidaknya di dalam meminang seorang
yang diidamkan.
Di kalangan etnis mbojo dikenal dua bentuk
perkawinan yang lazim menurut istilah setempat, yakni perkawinan yang
dikehendaki oleh adat dan bentuk yang menyimpang dari kehendak adat pada
umumnya. Perkawinan yang dikehendaki oleh adat dinamakan perkawinan yang baik
disebut “londo taho”, londo tabo adalah perkawinan yang disepakati oleh kedua
belah pihak keluarga dengan didahului oleh pinangan pihak laki-laki kepada
orang tu si gadis melalui cara-cara yang telah ditentukan oleh adat. Sedangkan
adat “londo iha” sering disebut “selarian”, sebagai jalan keluar dari keadaan
bilamana salah satu pihak keluarga tidak menyetujui rencana perkawinan
tersebut. Faktor dari selarian ini dilakukan seperti sang gadis hamil terlebih
dahulu atau sebaliknya pemuda meragukan keberhasilannya bila pinangan
dilaksanakan.
Londo tabo atau perkawinan biasa menurut etnis mbojo
disebut perkawinan yang baik, hanyalah perkawinan yang didasarkan atas
persetujuan pihak keluarga gadis berdasarkan lamaran dari pihak pemuda. Pemuda
terlebih dahulu mengadakan hubungan percintaan dengan calon istrinya atau gadis
idamannya. Pelaksanaan peminangan bagi etnis mbojo dilaksanakan menurut adat
yang berlaku, yaitu melalui seorang juru pinang yang disebut “ompu panati”,
ompu panati atas nama keluarga si pemuda menyampaikan niat dan tujuan si pemuda
kepada orang tua si gadis dengan menggunakan bahasa yang disusun rapi, sopan
serta menarik.
Bila
pihak orang tua gadis menyetujui pinangan tersebut, mulailah dibicarakan
pelaksanaan perkawinan dalam waktu yang dekat atau dalam jangka waktu yang
tidak lama lagi. Dalam hubungan ini, kedua belah pihak sudah mulai membuat persiapan
dengan didahului oleh musyawarah antara keluarga masing-masing yang menyangkut
waktu pelaksanaan upacara, pembiayaan, serta besarnya masing-masing sumbangan
anggota keluarga.
Disinilah tampak semangat gotong royong dan kuatnya
tali kekeluargaan. Perkawinan yang demikian itu merupakan cita-cita bagi semua
orang tua etnis Mbojo yang dalam hidupnya memiliki anak gadis atau “Sampela
Siwe” atau pemuda “ Sampela Mone”. Sering terjadi seorang pemuda dan seorang
gadis saling mencintai satu sama lain, mereka telah sepakat melangsungkan
perkawinan, tetapi orang tua si gadis telah mempunyai pilihan lain, yaitu
seorang pemuda yang munurutnya sangat sesuai dengan seleranya. Tidak penting
apakah pemuda tersebut dicintai oleh anaknya, maka lamaran pemuda akan ditolak
secara halus minsalnya dengan kata-kata kiasan, “tiloa campo wara ra macampa
na” , atau dengan kata, “anak gadisnya masih kecil” dan sebagainya. Maka tidak ada jalan lain bagi kedua insan yang
telah bercinta tersebut, kecuali berlari menuju ke rumah penghulu.
Perkawinan dengan cara selarian dianggap sebagai
Londo Iha, artinya perkawinan yang tidak baik. Biasanya perkawinan dengan cara
selarian menyebabkan keretakan hubungan keluarga dari masing – masing pihak.
Seharian juga kerana timbulnya keraguan – raguan salah satu pihak, mungkin si
pemuda berkeyakinan bahwa si gadis telah memiliki pemuda lain, padahal mereka
telah menjalin ikatan janji. Dalam kasus ini juga terdapat penyelesaian yang
baik bilamana orang tua gadis memaafkan si pemuda yang membawa lari anak
gadisnya. Selain faktor-faktor tersebut, status sosial si pemuda munurut
anggapan orang tua gadis sesuai dengan status sosial anaknya, atau mungkin
karena tidak adanya persesuaian tentang besarnya “co’i” yang dikehendaki oleh
orang tua si gadis.
B.
SYARAT
– SYARAT PERNIKAHAN MASYARAKAT BIMA
Masyarakat
bima telah meletakkan syarat-syarat untuk kawin sepenuhnya didasarkan pada
hukum Islam. Syarat itu, dalam mengenai jumlah co’i atau mas kawin tidak
ditentukan jumlahnya, juga persetujuan pihak orang tua gadis dapat dianggap
sebagai syarat yang cukup menentukan dapat tidaknya suatu perkawinan
dilangsungkan.
Namun,
apabila pihak orang tua gadis yang kurang setuju tarhadap pemuda yang melamar
anaknya, jelas untuk menolak lamaran ecara terang-terangan dianggap kurang
menghormati perasaan. Maka, dari itu, caranya adalah dengan mengajukan
permintaan pembayaran co’i yang tinggi. Jika tidak ada persetujuan jumlah co’i
dan persetujuan orang tua si gadis dapat diterima atau tidak. Dengan kata lain,
kedudukan untuk menentukan pilihannya memang dimungkinkan , tetapi pada
akhirnya orang tua dan kerabatnyalah yang menentukan apakah pilihan tersebut
sesuai atau tidak.
Dalam
etnis mbojo, perkawinan anak kadang-kadang dilakukan di masa lalu dengan
istilah “cepe kanefe”. Prkawinan cara ini
mengharuskan kedua belah pihak hingga aqil balig tidak ikut campur. Ini
menunjukkan bahwa umur sama sekali menjadi persyaratan kawin.
Di
kalangan etnis mbojo, seorang wanita yang tidak menikah hingga tua di usia tuanya
dinamakan “mbaru tua”.
C.
PELAKSANAAN
PERNIKAHAN ADAT BIMA
1. Tradisi
Sebelum Perkawinan
a.
Cara Memilih Jodoh
Sebelum sampai ke jenjang perkawinan, seorang pemuda
atau “sampela mone” dan seorang gadis atau “sampela siwe” dalam etnis mbojo
terlebih dahulu mengadakan hubungan
kasuh saying atau percintaan. Hubungan tersebut di dalam masyarakat bima
di sebut “ne’e angi”. Di dalam masa ne’e angi, baik pemuda maupun gadis mbojo
tidak mungkin untuk lebih banyak bergaul dan bertukar pikiran secara langsung
dengan “sodi angi” atau pacaran. Sebab seorang pemuda akan sangat segan unuk ke
rumah si gadis pujaannya, demikian juga si gadis sangat takut untuk menjamu si
pemuda tersebut dengan disaksikan oleh orang tua dan keluarganya. Pendek kata,
masih ada beberapa masyarakat bima etnis mbojo yang terikat dengan adat
istiadat. Namun demikian, ada fasilitator yang digunakan untuk memfasilitasi
hubungan pemuda dan gadis adalah dalam pesta perkawinan, pasar, perjalan, dan
tontonan atau ketika sedang bercocok tanam.tetapi pemuda dan pemudi dalam etnis
mbojo sangat peka terhadap perasaan masing-masing.
Isyarat
yang paling menonjol adalah keinginan untuk melihat di balik “rimpu” (pakaian
muslim mbojo sejenia cadar) hubungan tersebut akan sampai pad suatu saat dimana
seorang pemuda atau gadis setuju untuk melangsungkan perkawinan atau nikah, dan tindak lanjutnya
seorang pemuda menyampaikan maksudnya kepada orang tuanya.
Dan jika kedua orang tua setuju atas kehendak
naknya, maka orang tua si pemuda akan mengutus
ompu panati untuk meminang gadis yang dicintainya. Tetapi pinangan
tersebut tersebut tidak diikuti dengan perkwinan dengan segera. Inilah disebut
“lao sodi siwe” atau menanyakan status soerang gadis dan apabila lamaran
diterima, maka terikatlah pemuda dan gadis itu dalam hubungan pertunangan.
Jadi
kebiasaan etnis mbojo dalam memilih jodoh, pada dasarnya seorang gadis harus
tunduk pada keputusan orang tua atau keluarga kedua belah pihak. Inilah
perkawinan sebaik-baik etnis mbojo.
b.
Wi’i Nggahi
Wi’i nggahi dalam etnis mbojo masyarakat bima, yaitu
apabila lamaran sudah diterima oleh orang tua dan keluarga si gadis, maka semua keluarga si pemuda akan merasa
lega termasuk juga ompu panati. Pemuda dan si gadis berada dalam masa saat
bertunangan resmi disebut “sodi angi” dan dalam upacaranya disebut “wi’I
nggahi”, artinya pemberian sesuatu sebagai tanda pertunangan yang resmi. Dalam
prosesi adat ini, rombongan pihak pemuda
membawa barang-barang keperluan si gadis, seperti cincin, minyak wangi,
bebrapa lembar pakaian dan puncaknya adalah pada saat dipasangnya sebuah cincin
pada jari manis si gadis yang biasanya dilakukan olah adik perempuan si pemuda.
Tujuan
dari upacara ini sebagai peresmian pertunangan dan sebagai permklumam kepada
mereka yang menyaksikan upacara tersebut. Dalam rangkaian adat perkawinan etnis
mbojo, upacara wi’I nggahi ini akan membawa beberapa konsekuensi antara lain
bahwa tunagnan sudah resmi. Dengan demikian, kedua belah pihak kini berada di
ambang pelaksanaan perkawinan. Pihak
calon suami semakin bertanggung jawab terhadap kehidupan calon istrinya dan
pada saat yang memungkinkan calon suami suami akan membawa barang-barang untuk
keperluan calon istrinya. Pihak calon suami setelah peresmian perttunangan,
seringkali harus mengabdi kepada calon mertuanya. Di dalam etnismbojo hal yang
demikian “ngge’e nuru” di mana calon menantu bekerja di sawah, lading, rumah,
dan atau di mana saja sesuai keinginan dan perintah calon mertua.
c.
Penentuan waktu karawi
Penentuan waktu karwi dalam upacara perkawinan
menyangkut kerabat dari pihak laki-laki dan perempuan untuk ikut menentukan
perencanaan waktu, pembiayaan, dan pelaksanaan perkawinan yang menjadi
tanggungjawab keluarga. Orang tua si pemuda mengundang keluarga terdekat
seperti saudara, nenek, serta kerabat lainnya untuk “mbolo keluarga” atau
bermusyawarah membicarakan waktu dan segala perlengkapan perkawinan. Dalam
musyawarah ini, juga dibicarakan sekitar keperluan atau biaya yang dibutuhkan
yang bertujuan untuk menimbulkan partisipasi semua anggota kerabat bergotong
royong memiliki biaya. Musyawarah keluarga tersebut akhirnya memutuskan
pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut segera disampaikan oleh ompu panati
kepada pihak keluarga si gadis. Dalam ungkapan bahasa bima, kalimat-kalimat
yang dilakukan ompu panati sebagai berikut “mai kabouku nggahi ra wi’I kai
warasi tadir allah, bunesi ntika nggahi ra wi’I de takalmpa rawiku wura ake”,
artinya lebih kurang bahwa “kami datang menyambung kata-kata yang disampaikan
dan diniatkan bersama kemarin, sekiranya tuhan menghendakinya, maka alangkah
baiknya kita melaksanakan hajat (perkawinan) pada bulan ini”.
Dengan
adanya pemberitahuan tersebut, maka keluarga pihak gadislah yang kemudian
menentukan waktunya secara lebih terperinci mengenai hari dan tanggal
pelaksanaannya.
d.
Pengantar Mahar/ Wa’a Co’i
Wa’a co’i artinya upacara pengantaran barang dan
uang yang menjadi maskawin dalam perkawinan. Upacara wa’a co’i selalu dihadiri
oleh wakil-wakil dari calon pengantin laki-laki dan wakil dari calon pengantin
perempuan dengan disaksikan oleh penghulu, kepala desa, pemuka masyarakt
lainnya, serta para anggota kerabat kedua belah pihak. Upacara wa’a ci’I ini
dilakukan, baiknya pada pagi hari maupun sore hari, sangat tegantung jauh dekatnya
rumah orang tua calon pengantin putri. Demikian pula besar anggota rombngan
anggota wa’a co’I sangat tergantung dari jumlah barang yang dibawa sebagai
maskawin sesuai dengan persetujuan dari kedua belah pihak keluarga calon
pengantin putra adalah ompu panati.
Bila
rombongan pengantar telah tiba dirumah orang tua pengantin putrid, mereka
diterima oleh orang tua calon pengantin. Upacara tersebut diadakan di paruga,
yakni bangunan bambu dan beratapkan daun kelapa dan alang-alang yang di bangun
khusus untuk upacara tersebut. Terkadang penyerahan mahar banyak dilakukan
dengan pembuatan berita acara penyerahan yang berisi jumlah dan harga barang.
Berita acara tersebut ditanda-tangani oleh pihak pengantin putra disaksikan
oleh beberapa orang pemuka masyarakat dan
wakil dari calon pengantin putri. Pembuatan berita acara pembayaran co’i
tersebut untuk menjaga menjaga kemungkinan di kemudian hari dan berdasarkan
pengalaman seringkali co’i tersebut tidak dibayar dengan lunas jika terjadi
perselisihan atau perceraian diantara suami istri dan co’i yang belum dibayar
juga harus diselesaikan. Jika tidak ada bukti tertulis, seringkali perselisihan
ini berakhir ke meja pengadilan. Dengan cara pembuatan berita tersebut, calon
pengantin putri tidak perlu khawatir akan kemungkinan- kemungkinan yang
terjadi.
Mengenai jumlah co’i, biasanya mula-mula ditentukan
oleh pihak keluarga calon pengantin putrid. Tetapi unsur musyawarah tetap
memberikan kemungkinan tawar-menawar sehingga jumlah yang lebih tinggi menurut
permintaan keluarga calon pengantin putri dapat dikurangi berdasarkan
persetujuan bersama.
2. Adat
Dalam Prosesi Pelaksanaan Perkawinan
a.
Kapanca
Kebiasaan yang terjadi pada etnis mbojo, sebelum
akad nikah dilakukan baik calon pengantin tetap tinggal di rumah masing-masing,
tetapi untuk pertemuan pertama untuk kedua calonpengantin terebut sudah
disediakan “uma ruka” yang dilengkaapt dengan perabot yang memadai. Sedangkan
untuk pengantin putrid dilaksanakan sebuah upacara yang disebut kapanca. Upara
ini bertujuan untuk mengantarkan calon pengantin putrid ke gerbang perkawinan
secara simbolis. Upacara ini hanya dihadiri oleh orang-orang wanita, tamu-tamu
istri-istri orang terpandang di desa untuk memberikan restu menjelang beberapa
saat akad nikah dilaksanakan. Di dalam prosesi upacara kapanca, sang calon
pengantin duduk di atas tempat yang sudah disiapkan, kemudian para tamu satu
persatu mendekati calon pengantin sambil menggosokkan daun pacar yang telah
dihaluskan pada kuku dan kaki calon pengantin putri.
Pada saat pelaksanaan upacara kapanca tersebut,
diadakan zikiran oleh para tamu dan pembacaan berzanji yang diambil dari buku
“syaraful anam”. Setelah selesai pembacaan berzanji, ditutup dengan pembacaan
do’a, maka para tamu baik laki-laki maupun perempuan dijamu dengan jamuan
khusus sampak berahirnya upacara kapanca tersebut.
b.
Akad Nikah
Pada hari kedua yaitu setelah keesokan harinya dari
upacara kapanca, maka dilangsungkan acara inti, yaitu akad nikah. Akad nikah
ini biasa berlangsung sore hari. Pihak keluarga laki-laki mengundang beberapa
orang tetangga dan orang sedesanya untuk mengantar pengantin laki-laki ke rumah
keluarga pengantin perempuan. Acara jamuan berlangsung kira-kira bakda asar.
Sedang dari pihak perempuan tidak ketinggalan pula mengumpulkan para undangan untuk
menjemput kedatangan rombongan mempelai laki-laki. Rombongan tersebut diiringi
dengan suara dan nyanyian rebna sambil zikir, yaitu melagukan syair arab yang
menceritakan tentang sejarah hidup nabi Muhammad saw. Barisan dalam kelompok
badra ini sekurang-kurangnya tiga orang dari laki-laki baik yang tua maupun
yang muda dengan gerak tangan yang lemas dan goyangan pinggul yang aduhai.
Stelah
rombongan mempelai laki-laki tiba dirumah mempelai perempuan, langsung dijemput
dan dipersilahkan duduk di ruang pengantin perempuan yang telah sabar dan
menunggu untuk dinikahkan. Maka dimulailah
acara akad nikah yang didahului dengan khutbah nikah oleh penghulu dan dilanjutkan ijab Kabul oleh
wali dan pengantin perempuan terhadap pengantin laki-laki di hadapan saksi.
c.
Hengga Dindi (Membuka Tabir)
Upacara ini dimaksudkan sebagai pengantar pengantin
pria untuk menemui pengantin wanita yang sejak di uma ruka ini berada dalam
kamar khusus bersama “ina bunti” (pengasuh pengantin wanita). Sebelum masuk ke
kamar tersebut, pengantin laki-laki tidk diperkenankan untuk masuk begitu saja
dalam kamar, akan tetapi harus melalui proses yang telah diikemas dalam upacara
hengga dindi. Upaca ini dimulai oleh pengantin pria yang didampingi gelararang,
lebe, danbeberapa orang tokoh adat menuju kamar pengantin putrid dan berdiri di
luar “dindi satampa” (tabir pemisah).
Acara
diawali oleh ompu panati sebagai juru bicara pengantin pria dengan membaca
salawat sebanyak tiga kali, yang dilanjutkan dengan member salam kepada ina
bunti sebagai juru bicara pihak pengantin wanita. Dengan bahasa daerah yang
indah memohon kepada ina bunti agar sudi kiranya menerima kehadiran pengantin
pria. Selanjutnya terjadi dialog yang indah antara kedua juru bicara ini,
hingga sampai pada saat pembuktian apa yang dibawa oleh pengantin pria
yang diperagakan melalui pelemparan
beberapa keeping uang logam yang dilakukan hingga tiga kali. Setelah itu
tabir pembatas dibuka dan pengantin pria
diizinkan memasuki kamar pengantin wanita.
d.
Nenggu Atau Cepe Jungge (Menukar Kembang)
Istilah “nenggu” yakni upacara adat memasang tiga
tangkai jungge (kembang) ke sanggul pengantin putri. Upacara ini disebut “cepe
jungge” (mengganti kembang), karena terdapat tiga tangkai bunga yang terbuat
dari kertas yang memiliki warna yang berbeda, yaitu terdiri dari jungge kala
(kembang warna merah), jungge monca (kembang warna kuning), dan jungge bura (kembang warna putih).
Disebut pengganti kembang karena proses pemasangannya secara bergantian sesuai
dengan keinginan pengantin putri.
Pengantin laki-laki bersama ompu panati mendekati
pengantin putri yang sedang duduk diatas pelaminan. Pengantin pria menyerahkan
jungge kala (kembang warna merah) kepada
pengantin putri sebagai pernyataan bahwa pengantin pria adalah seorang yang
berani dan perkasa yang akan sanggup melindungi pengantin putri dan sanggup
menafkahi baik nafkah lahir maupun nafkah batin dengan sehidup dan semati.
Pemberian kembang ini ditampik untuk
selanjutnya diusulkan pula dengan jungge monca (kembang warna kuning) sebagai
pemberitahuan bahwa pengantin laki-laki dalam kehidupan keseharian bersama orang
tuanya suka berjiwa sosial suka membantu orang lain dan aktif dalam kehidupan
kemasyarakatan, dan ditampik pula oleh pengantin putri karena kesemuanya itu
tidak aka nada artinya tanpa keikhlasan dan kesucian hati. Untuk menyempurnakan
maka diusulkan pula dengan member jungge bura (kembang warna putih) sebagai
lambang kesucian hati dan keikhlasan pengantin pria menerima pengantin wanita
sebagai pendamping hidupnya. Dan kembang warna putih itupun diterima oleh
pengantin wanita dengan perasaan riang karena kejayaan dan keberanian baru
berarti apabila disertai dengan kesucian dan keikhlasan hati.
e.
Pamaco
Upacara pamaco adalah upacara yang dilaksanakan
setelah kedua pengantin tiba di berugak di hadapan para undangan. Biasanya
kegiatan ini dilakukan pada sore hari dan prosesi upacara pamaco ini diawali dengan
salah seorang keluarga pengantin pria, kemudian para undangan yang terdiri dari
kaum wanita dipersilahkan memberikan uang atau barang begitu juga para undangan
laki-laki. Prosesi jambuta atau pamaco ini dilakukan di paruga dan dinuat di depan
rumah orang tua pengantin pria. Selain bertujuan untuk meminta do’a restu para
anggota masyarakat, sahabat, dan kenalan, juga untuk memberikan sumbangan
berupa uang atau barang oleh masyarakat kepada kedua pengantin.
F.
Adat Sesudah Pamaco
Sekalipun dalam praktiknya etnis mbojo menyangkut tempat
tinggal setelah kawin terserah kepada kedua pengantin untuk menentukannya,
tetapi dasar-dasar adat telah menetapkan bahwa tempat tinggal bagi keluarga
baru tersebut adalah seharusnya di uma (rumah) yang dibuat sebelum kawin. Uma
tersebut dalam etnis mbojo ditetapkan sebagai co’i. uma selalu didirikan
disamping rumah keluarga pengantin putri.
Setiap perkawinan tidak selalu
menyediakan rumah terlebih dahulu. Memang dalam co’i selalu disebutkan uma hal
pertama yang harus dibayar oleh calon pengantin laki-laki, akan tetapi
seringkali uma dihargai dan dinilai tidak sebanding dengan harga rumah yang
sebenarnya. Hal ini disebabkan beberapa kemungkinan yakni kemungkinan suami
mewarisi rumah dari kedua orang tuanya yang telah meninggal terlebih dahulu,
kemungkinan suami harus tinggal di dekat daerah pertaniannya sendiri,
kemungkinan si istri adalah anak tunggal dan karena itu teramat dicintai oleh
orang tuanya sehingga sulit untuk memisahkan diri dari sisi orang tuanya. Pola
perkampungan penduduk sebenarnya menyulitkan untuk menentukan secara pasti
tempat tinggal sesudah kawin. Karena beberapa rumah berada dalam jarak yang
terlalu dekat, namun dimanapun keluarga baru tersebut bertempat tinggal sama
sekali tidak mengurangi rasa hormat menghormati antara suami istri, antara
keluarga kedua belah pihak atau antara mereka dengan masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Adat
daan upacara perkawinan tnis mbojo erat hubungnnya dengn ketenuan-ketentuan didalam
ajaran agama penduduknya,yakni agama islam. Hal ini di sebabkan karena etnis
mbojo adalah penganut agama islam yang fanatic.
Dam kselruhan adat dan ata cara
perkawinan etnis mbojo,tampak dengan jelas semangat keutuhan keluargadan
mayrakatert sifat kegotong royongan diantara mereka.sifat musyawarah dan
kegotong royongan masyarakat khususnya dalam adat dan perkawinan akan terus
bejalan smpai wku yang tak dapat diramalan.sifat kegotong royongan yang Nampak dengan jelas di dalam etnis mbojo
patut dihormat,demikian pla semangt musyawarah didalam kehidupan berkelurga dan
bermasyarakat merupkan inti dalam pelaksanan setiap upacara perkawinan.
Namun persoalannya adalah,bagaimana
islam memandang adat ataupun tradisi.urian berikut ini akan menjelaskan sudut
pandang islam tentang pelaksanaan pernikahan dalam buday bima.
A. MAHAR
Analiis
mengenai perkawinan yang ada di bima yang terkait dengan mahar (co’i) yang
dimana kami kurang sependapat mengenai masalah mahar yang ditentukan oleh orang tua si gadis ,
memang si gadis lah yang menetukan mengenai mahar itu tapi di balik itu semua
si gadis harus tunduk kepada perintah orang tunya sedangkan dalam hadist
disebutkan ,wanita lah yang menetukan maharnya apa, bukan orang tua.tentaang
mahar ini disebutkan dalam beberapa hadist sebagai berikut”Dari amir bin Rabi’ah bah eorang perempuan bani fazarah dinikahkan
dengan mahar sepasang sendal.Raululah SAW bersabda apakah engkau relakan dirimu dan milikmu dengan sepasngg sendal”?.jawaban
ya.setelah itu beliau membenarkan “(HR.ibnu majah dan Tirmidzi).
Bisa
disimpulkan mengenai mahar ini wanita lah yang menetukannya kecuali ada
kesepakatan dari si wanita bahwa orang tuanya yang akan menentukannya, tapi
kalau tidak ada kesepakatan dari si wanita maka orang tua tidak punya hak untuk
memaksakan anaknya harus tunduk kepada perinthnya mngeni mahar ini.
B.
MENGENAI ATURAN BAKU
Pernikahan
atau nika ra neku dalam tradisi Bima memiliki aturan baku. Aturan itu cukup
ketat sehingga satu kesalahan bisa membuat rencana pernikahan (nika) menjadi
tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon mempelai laki-laki tidak
diperkenankan berpapasan dengan calon mertua. Dia harus menghindari jalan
berpapasan. Jika kebetulan berpapasan makan calon dianggap tidak sopan. Untuk
itu harus dihukum dengan menolaknya menjadi menantu. Aturan yang ketat itu
tentu menjadi bermakna karena ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Kini,
tentu saja aturan tersebut sudah ditinggalkan. Misalnya ngge’e nuru atau
tinggal bersama calon mertua untuk mengabdi di sana.
Kami rasa aturan ini tidak adil karena hanya dengan
berpapasan dengan calon mertua saja bisa meembatalkan perkawinan , padahaal
jika kita fikir itu bukanlah salah satu masalah yang serius .untuk membtalkn
perkawinan yang sudah begitu terencana. Bias saja si pria tidak sengaja
berpapasan dan itu bukan keinginannya